Cerpen : I Hate You but I Can't (part 1)
Pembukaan dikit yaa..
Hoolaaa...
Gw balik loohh. Dari sekian lama terperangkap dari kesibukan es-em-a akhirnya gw bisa nongol disini lagi, karena sekarang musim liburan.
Horeeeyy... *jingkrakjingkraksambiltepuktangan.
Tapi mungkin gw cuma nongol beberapa kali disini trus gw bakal ngilang lagi. Kenapa? Karena gw bentar lagiii UUUNNN!!! Huuaaahhhhhhhh :’( *jingkrak-jingkraklagitapisekarangsambilnangis.
Udahlah, balik keawal, balik ke tujuan gw nongol disini. Kali ini gw ngga bakal cerita tentang kehidupan gw yang absurd. Tapi gw bakal ngasih sesuatu yang baru. Ini ceritanya 1000% gw yang karang sendiri lohh. Ciyus deh. Bukan berasal dari kisah nyata dan bukan untuk mengkritik orang lain. Tujuan gw nyiptain ini murni karena gw ingin mengeluarkan ide-ide yang ada di otak gw yang selama ini masih tersimpan aman di kepala. Oke dah, silahkan dinikmati........
***
“Kau pasti sudah gila.”
“Tidak. Aku tidak gila. Aku baik-baik saja. Kau bisa lihat sendiri kan?”
“Oh, kalau begitu , mengapa kau bersikap seperti itu?”
“Tak bisakah kau tidak berteriak-teriak, hah?”
“Sudahlah, tak usah mengubah arah pembicaraan.”
“Apa?!?”
Bbleebb...
Lampu diruanganku mati. Terpaksa aku menghentikan perkerjaanku. Dengan menghela nafas panjang dan berkacak pinggang seraya menengok keluar kamar untuk memastikan apakah benar itu mati lampu seluruhnya atau hanya lampu dikamarku saja yang agak soak. Dan benar, diluar sana lampu menyala dengan terangnya seolah menghina diriku. Aku memutuskan untuk memberitahu ibu. Tapi tunggu, ibu selalu mengatakan “Tak bisakah kau memperbaiki sendiri. Adikmu bisa , masa’ kamu kalah sih?”. Kata kata itu yang selalu membuatku jengkel. Adikku.. Adik.. Adik.. Aarrggghh.. Aku benci dengan sesosok adikku . Apa sih hebatnya? Dia bukan dari keluarga kami. Dia diadopsi oleh kedua orangtuaku saat umurnya baru 2 tahun. Awalnya aku merasa simpati , lama kelamaan aku merasa tersingkir. Apa yang ia mau selalu dituruti. Sedangkan aku ? Orangtuaku harus berpikir 2 kali jika aku yang meminta. Kadang kadang dia juga sengaja membuat ulah sehingga aku dimarahi. Huh menjengkelkan!
Bleebb...Bleebb...Cliinngg.
Lampu kamarku menyala sendiri membangunkanku dari lamunan. Aku tersadar,memandang kearah lampu itu sejanak, lalu kembali ke pekerjaanku. Aku mengambil bolpoin dan mencari kertasku yang tadi sudah aku tulis. Ketemu . aku membacanya ulang. Sampai dimana .. nah.. tepat dikata “Apa?!?” lalu lampu dikamarku mati. Benar. Aku hendak menulis kembali , tapi semua ida yang ada telah hilang. Hilang tak bersisa. Ini semua karena lampu sialan dan adik yang rese itu’.pikirku.
“Ahh… Jahat.. jahat.. jahat” teriakku sambil menggebrak meja.
“Ahh.. gak usah tanya- tanya. Ini semua gara-gara kamu. Ini salahmu. SALAHMU. Jadi sekarang keluar. Tutup pintunya. CEPAT! “ kataku dengan sedikit emosional dan segera mengambil salah satu buku yang berada di dekatku dan melemparkannya ke arah pintu.
BRRRAAKKKK!!!!!
Suara itu terdengar sangat keras. Adikku tak bersuara. Aku sempat khawatir, tapi karena emosi ,rasa khawatir itu tertutupi . Lalu, sebelum rasa khawatir itu sepenuhnya hilang, muncullah rasa kasihan. Kasihan melihat adikku yang aku perlakukan sedemikian kejam. Tapi mengingat apa yang pernah ia lakukan kepadaku, aku merasa itu sangat adil baginya. Dan tak ada yang mengasihaniku. Jadi buat apa aku repot repot memikirkannya. Huh! Mendingan aku cari inspirasi di tempat tenang daripada harus memikirkan orang semacam itu. Bodoh amat.
Aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumah. Aku ingin mencari inspirasi untuk cerita yang aku buat. Untuk cerita yang tadi , aku putuskan untuk menjadikannya ‘draf’ di rak. Sebenarnya aku ingin sekali menjadi penulis. Penulis yang mempunyai karya besar dan selalu menarik bagi pembaca. Penulis yang tak lekang oleh waktu. Jujur saja, aku tidak pernah menjuarai lomba tulis cerpen karena aku tidak pernah mendaftar. Kalau saja tak pakai biaya pendaftaraan , mungkin aku akan ikut. Tapi berhubung selalu ada biaya –dan kantongku juga pas-pasan - jadi selalu aku mengurungkan niatku untuk ikut lomba. Aku juga tak berniat untuk meminta uang pendaftaran ke orang tuaku. Bukan karena masalah finansial, tapi nilai pelajaranku di sekolah terbilang cukup jelek. Pasti kedua orang tuaku akan mengatakan, “Bereskan dulu yang sudah bayar, baru tambah yang aneh-aneh. Kalau kamu kalah, sama saja kayak buang uang.”
Yaahh, begitulah nasibku. Oleh sebab itu, aku tidak bisa berkembang. Aku mencoba mengirim ke majalah sekolah tapi selalu ada saja alasan yang membuat aku tak bisa mengirim karyaku. Entah itu karena sudah ada yang mengirim lebih cepat dari aku atau yang lainnya. Memang, mewujudkan harapan itu tak semudah membalikkan telapak tangan.
Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh kepangkuanku dan membuyarkan lamunanku. Aku segera mengambil dan membacanya.
...
bersambung...
Kelanjutannya coming soon yaa...
Byeee :)
part 2 nya disini yaa
Comments
Post a Comment